Enggak kerasa, ternyata udah setahun sejak aku bikin vlog pertama mengenai hari pertama kerja di hotel (dan kuliah online).
Saat masih kecil, aku sering keluar masuk hotel-hotel di Malang, ngikutin mamaku yang bekerja sebagai florist. I thought it would be fun kerja di hotel: interior oke, ketemu berbagai macam orang, dan dapat makanan gratis.
Who knows ternyata mimpi itu terwujud. Tapi aku hanya bertahan selama 3 bulan menjadi hotelier. Berikut adalah cerita pengalaman kerja di hotel versiku. Yang menurutku, bittersweet!
Kerja Dimana dan Departemen Apa?
Aku bekerja di salah satu hotel berbintang 3 di Malang sebagai digital marketer, di bawah divisi Sales and Marketing.
Jadi, ngurusin akun Instagram dan Facebook-nya. Mulai branding, planning, desain, production, dan analisis.
Selain itu, aku beberapa kali diajak keliling buat sales. Maknanya, mengajukan proposal ke berbagai institusi, termasuk pemerintahan, universitas, dan swasta.
Wih, Seru, Dong?
Well, yeah.. Aku suka pekerjaan digital marketing-nya. Aku bisa bereksperimen sama desain dan konten.
Seringkali dapat makan gratis dan merchandise juga (sesuai dugaanku saat kecil). Mulai dari wedding, kunjungan-kunjungan, dan foto produk restorannya. Habis foto, kita bisa makan produknya! Dan itu jenis makanan steak, mie, dan lainnya. Berat badanku sampai naik 2 kilo karena sering makan.
Keliling buat sales technically juga “jalan-jalan.” Ke Balai Kota Malang, kantor dinas-dinas di Malang dan Surabaya, dan beberapa hotel lain. Secara tidak langsung, kamu jadi membangun networking dengan orang-orang dalam kelas atas!
Yang kadang bikin excited (dan dompet manangis) adalah pakaian yang harus aku kenakan. Feminin, formal, suit, dan rok. Gambaran wanita muda necis yang selama ini menjadi imajinasiku.
Terus, Kenapa Resign Kalau Kerjaannya Asik?
Things got complicated ketika kamu bekerja di industri services, terutama di masa pandemi
Kalau di industri penghasil produk, orang-orang mungkin saja membeli produkmu meski pelayanannya biasa aja. Kamu juga masih bisa jualan lewat online untuk mendongkrak pemasukan.
Tapi, di industri services, pelayanan dan pengalamannya yang dijual. Let’s say pergi ke Ancol, gimana cara men-deliver pengalaman seru main roller coaster? Lewat 360 virtual tour? That would be very much different.
Di masa pandemi, hotel-hotel juga berusaha buat nurunin harga buat menarik pelanggan. Dan ketika hotel bintang 3 bersanding harga dengan hotel kelas atas, orang-orang jelas lebih memilih yang fasilitasnya lebih unggul.
This “implicit” competition made me feel inferior.
Dan, aku enggak bisa mengontrol kondisi itu karena perlevelan ini menyangkut institusi, bukan diriku sendiri. I mean I can work my ass off kalau emang skills-ku sendiri kurang. Tapi, mengubah manajemen dan kualitas lembaga — yang berisi banyak orang — bukan perkara mudah.
Waktu itu juga santer pengurangan karyawan, kan. Jadi, sumber daya yang ada dikerahkan semaksimal mungkin dengan multitasking. Aku pun enggak hanya di bagian digital marketing, tapi juga mengurusi desain banner, data entry, dan sejenisnya karena aku dipandang sebagai “anak IT.”
Aku Bekerja Ketika Orang Liburan
Orang liburan kan menginap di hotel, ya. Ketika aku ketemu customer, aku jadi merasa, “Wah, enak ya situ liburan, sini kerja.”
Begitu juga ketika ada wedding. Orang-orang happy-happy, joget, dan makan-makan sambil ngerumpi. Meanwhile, aku berusaha untuk ambil angle foto terbaik, bantu seniorku buat memastikan acara berjalan lancar, dan mempersiapkan banyak hal sebelum hari H.
Salut sih, sama para wedding organizer, fotografer, dan sejenisnya!
“Cantik Itu Luka”
Dibalik gorgeous outfit yang dikenakan para hoteliers, ada mereka yang berjuang berjalan mengenakan high heels, tampil sleek all the time untuk menarik pelanggan, namun merasa “layout” itu membuat mereka asing dengan dirinya sendiri. One of them was me.
Bisa saja persoalan ini hanyalah isu personal.
Mungkin aku saja yang belum terbiasa dengan attire. Sebelumnya aku sendiri juga seorang freelancer dan mahasiswi sastra yang ke kampus pakai kaos.
Tapi, ada banyak banget aturan soal penampilan yang bikin aku pusing, LOL. Mulai dari rambut, material pakaian, panjang-pendek bawahan, sampai sepatu. Padahal, selama ini aku percaya kalau otak dan kemampuan bekerja bisa mengalahkan penampilan.
Hm, I think I can’t apply this principle in this industry.
Dan, believe me, perkara pakaian ini bakal makin “parah” kalau kamu berada di hotel level-level atas. Aku pernah ketemu staf hotel bintang 5, dan — meminjam istilah staf tersebut — it’s indeed kayak militer. Ketat banget dan super high standards.
Pekerjaan dan Dilema Tempat Kerja
Ada berbagai faktor yang membuat aku akhirnya resign. Tapi, tiga poin drawbacks di atas adalah salah tiganya.
Waktu itu, sampai ada hari dimana aku melihat cermin dan nangis karena aku merasa bukan menjadi diriku sendiri. Bahkan hari gajian pun tidak membuatku bahagia internally.
Mungkin aku saja yang kurang cocok di dunia perhotelan. Ada banyak orang yang sangat passionate dengan industri ini kok. Hanya saat ini — di blog ini — kamu membaca review tentang karir perhotelan dengan bintang 1.
Tapi, pengalaman kerja di hotel ini membuatku belajar banyak mengenai “kegiatan bekerja.” Kegiatan ini bukan hanya soal deskripsi pekerjaan dan berapa yang kamu terima setiap akhir atau awal bulan. Banyak hal patut dipertimbangkan, mulai dari budaya perusahaan, para colleagues, dan kecocokan hati.
Mengutip dari novel Seven Husbands of Evelyn Hugo:
You have to find a job that makes your heart feel big instead of one that makes it feel small.
Well, aku tambahin “find a job AND WORKPLACE” that make you feel so.
Karena bisa jadi percuma ketika kamu mencintai pekerjaan, tapi lingkungan kerja tidak mendukung hal itu.
Begitulah ceritaku, aku harap kamu bisa mendapat insights mengenai pengalaman kerja di hotel atau mencari tempat kerja secara umum. I also do hope that you find a workplace that lets you embrace your true self and makes your heart feel big. Best of luck, my 20-something friends!
From a former hotelier,