Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam oleh Dian Purnomo ini terasa sangat menjanjikan dengan rating 4.7 di Goodreads. Dan ternyata, novel ini memang jauh dari kata mengecewakan. Buku ini membuka pandanganku mengenai perempuan, kesetaraan, adat, dan membuat masalah-masalahku terasa insignificant.
PEREMPUAN YANG MENANGIS KEPADA BULAN HITAM
Penulis: Dian Purnomo
Jumlah halaman: 319
Genre: Fiksi, feminisme
Tahun terbit: 2020
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp. 93.000 (Aku bacanya di Gramedia Digital)
Rating dari aku 4/5
Trigger warning: pelecehan seksual, pemerkosaan, bunuh diri
Sinopsis Buku Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam oleh Dian Purnomo
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam menceritakan tentang perempuan asal Sumba, Nusa Tenggara Timur bernama Magi Diela dan perjuangannya “menentang” tradisi kawin tangkap.
Awalnya, ia menjalani hari-harinya sebagai honorer di daerahnya setelah lulus dari sebuah universitas di Jawa. Ia punya cita-cita mengelola dan mengembangkan ladang ayahnya.
Tapi, hari-hari dan cita-cita itu jadi memori indah masa lalu ketika suatu hari ia “diculik” oleh Leba Ali, pria paruh baya kaya dari kampung sebelah yang udah terobsesi sama Magi sejak dia kecil.
Tradisi kawin tangkap ini memang udah turun-temurun di Pulau Sumba. Tapi, recently, harusnya si penculik izin dulu ke keluarga dan si cewek (yang mau diculik). Penculikan dilakukan buat formalitas aja biar maharnya enggak gede-gede banget dan proses pernikahan lebih cepet.
Nah, yang dilakukan oleh Leba Ali tanpa izin keluarga dan Magi. Dia melakukannya dengan paksaan. Parahnya, cewek yang udah diculik “harus” melanjutkan ke pernikahan karena dia udah “disentuh”.
Nah, apakah Magi Diela pasrah atau melawan? Spoiler: dia melawan dengan sekuat tenaganya, bravely and boldly.
Resensi Buku Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam oleh Dian Purnomo
Tema
Tema perjuangan hak-hak perempuan dan pemberontakan budaya patriarki — yang cukup menjadi momok para perempuan — sangat kental di novel Perempuan Menangis kepada Bulan Hitam ini.
Siang dia kasih sa rotan, malam dia tunggangi sa seperti hewan.
Hampir seluruh anggota keluarganya mendorong Magi untuk tetap menikah dengan Leba Ali, meskipun ia udah menolak habis-habisan dan mencurangi kematiannya sendiri — melakukan percobaan bunuh diri.
Di sini, Dian Purnomo juga secara apik menceritakan struktur masyarakat Sumba, kayak ketua adat dan peranannya, serta sikap mereka yang menempatkan perempuan mostly di wilayah domestik — memasak, menenun, melayani suami, dan mengasuh anak.
Kakak iparnya mendengus. “Kalau su jadi istri orang, ko tak ada pilihan. Cobalah ko belajar memasak supaya ko pung suami suka makan di rumah.
Karakter
Magi Diela dari awal udah kelihatan kalau dia enggak mau berakhir hanya di lingkup rumah tangga. Dia lulusan universitas, bekerja, dan punya cita-cita.
Ketika dia terbentur kenyataan — diculik oleh Leba Ali — Magi awalnya emang “berpikiran dangkal” buat mengakhiri hidupnya.
Tapi, setelah mengalami lebih banyak hal dan bertermu lebih banyak orang yang mendukung, pembaca akan disuguhkan dengan perkembangan karakter Magi yang signifikan — lebih berani, tangguh, dan berpendirian.
Cerita memang berfokus di Magi Diela, tapi perasaan makin diaduk-aduk dengan hadirnya sahabat Magi, Dangu Toda. Laki-laki yang baik, perhatian, dan terbuka pemikirannya pada hak-hak perempuan.
Untuk peran antagonis, ada Leba Ali yang digambarkan sangat “jahat” dari berbagai sisi, yang mana membuatku merasa kayak mengonsumsi konten super hero yang peran “jahat” dan “baik”nya dikotak-kotakkan.
Plot dan Setting
Dari awal chapter udah hooked banget dengan menampilkan setting rumah sakit setelah Magi Diela diculik — dimulai dari konflik. Pembaca jadi dibikin penasaran:
- Kenapa Magi Diela di rumah sakit?
- Apa yang dilakukan cewek ini selanjutnya?
I like it! Jadinya perhatian dan rasa simpati terhadap karakter terasa langsung terbentuk bahkan di awal-awal novel. Sepanjang novel pun emosiku dibuat naik turun dengan perasaan fragile-clueless Magi Diela, yang kemudian bangkit dan melakukan aksi-aksi “gila”.
Lokasi Sumba dengan latar waktu modern membuat novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hutam ini unik, sih.
Aku banyak baca novel chicklit berlatar ibukota dengan girl boss personality. Dan setelah baca novel ini jadi berasa cukup contrasting, ya. Masih banyak perempuan di Indonesia yang bahkan belum bisa membaca, yang dibatasi pergerakannya, yang direndahkan.
Membuatku bersyukur juga aku dilahirkan di perkotaan dengan lingkungan yang cukup mendukung edukasi dan cita-cita perempuan secara umum.
Penulisan
Karena setting-nya di Sumba, enggak heran dong bahasa yang dipakai adalah bahasa daerah sana. Well, this is part of the beauty, tapi kadang-kadang jadi bikin lama bacanya karena otakku harus menerjemahkan percakapannya perlahan.
Ada glossary di footnote kok terutama di awal-awal novel (yang sebenarnya udah kasih terjemahannya), dan setelah itu enggak ada! Kalau ada pun jadi cluttered banget, sih.
Pengggunaan bahasa daerah ini enggak terlalu mengganggu, kok. Dan rasanya rewarding setelah paham apa yang dikatakan para tokoh 😀
Keunikan selanjutnya adalah perbedaan sudut pandang di salah satu chapter. Sepanjang novel penulis pakai sudut pandang ketiga.
Tapi, di satu chapter pakai sudut pandang pertama dari kacamata penulis yang jadi “saksi” peristiwa yang dialami Magi Diela — macam The Architecture of Love-nya Ika Natassa yang ganti ke sudut pandang kedua.
Dalam webinar bersama penulis yang aku ikuti beberapa waktu lalu, Dian Purnomo mengubah sudut pandang ini buat menekankan begitu sulitnya perempuan speak up masalah pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami.
Latar Belakang Penulis
Di webinarnya, Dian Purnomo juga menjelaskan kalau Perempuan Menangis kepada Bulan Hitam ini adalah novel pertama yang “ia tulis dari hati”.
Penulis udah cukup lama merilis novel-novel bergenre romantis, tapi kemudian hatinya memanggil untuk menyuarakan suara perempuan, terutama yang ada di daerah luar Jawa — cerita dari Jawa kan udah banyak banget!
Apalagi, Dian Purnomo cukup sering ke Sumba (yang awalnya karena pekerjaan) dan udah jatuh cinta orang-orangnya, budayanya, dan tentu landscape-nya.
Situasi perempuan di sana menurutnya perlu perhatian lebih karena ketimpangan hak, yang bahkan kenyataanya ada yang lebih parah dari Mega Diela yang ada di novelnya.
Banyak keluarga yang mementingkan belis (mahar) dari pihak laki-laki, dan semena-mena “menjual” anak perempuannya — yang mana berakhir dengan si anak meninggal karena bunuh diri.
Dian Purnomo juga menekankan kalau Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam ini enggak berdasarkan kisah nyata, tapi terinspirasi dari kisah nyata. Memang ada lelaki kayak Leba Ali (dan lebih “ganas”), memang ada yang diculik dan diperkosa karena kawin tangkap.
Perempuan Menangis kepada Bulan Hitam adalah novel tentang perjuangan hak-hak perempuan yang menggugah hati dan (semoga) keberanian para perempuan buat lebih speak up.
Yang kusuka | Yang kurang kusuka |
---|---|
+ tema feminisme | – baik-buruk karakter agak dikotak-kotakkan |
+ setting unik di Pulau Sumba | |
+ karakter utama (Magi Dieala) yang menginspirasi |
dari diriku yang juga perempuan,
Comments
3 responses to “[Resensi Buku] Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam oleh Dian Purnomo”
Baru tahu ada tradisi kawin tangkap. Ya memang harus dipahami baik-baik tradisinya agar tidak salah paham juga..
Keren temanya, perjuangan hak-hak perempuan dan pemberontakan budaya patriarki. Baca bukunya jadi banyak tau tentang budaya dan kebiasaan di Sumba. Selama ini aku kurang tau tentang pernikahan di sana. Baca ini jadi nambah wawasan.
Boleh tuh kak masuk wishlist bacaan!